TobaTimes-Ketua Umum Punguan Simbolon Dohot Boruna Indonesia (PSBI) Effendi Muara Sakti Simbolon kurang sependapat dengan adanya otorita Danau Toba. Dia menilai bahwa otorita itu merupakanbentuk ketidakpercayaan pemerintah pusat kepada daerah.
"Saya kurang sependapat dengan otorita, ngapain sih? Seperti tidak percaya dengan pemerintah kabupaten ini. Di mana daerah otorita yang berhasil?" kata Effendi di sela-sela acara Musyawarah Masyarakat Adat Batak (MMAB) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Punguan Simbolon Dohot Boruna Indonesia (PSBI) 2016 di Parapat, Sumatera Utara, 29-31 Juli 2016.
Ia mencontohkan Batam. Menurut Effendi, pembentukan otorita hanya bagi-bagi di bawah kertas dan selalu diberikan kepada daerah. Ia menganggap salah pemerintah jika hanya menyusun rencana di Jakarta, tetapi tidak memahami masalah yang terjadi di daerah.
Oleh sebab itu, Effendi meminta Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menginap di Danau Toba untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya.
Ia mendorong agar lingkungan sekitar Danau Toba dibenahi terlebih dulu lingkungan seiring dengan perbaikan infrastruktur. Setelah itu, barulah pemerintah memikirkan hal-hal yang menunjang program pariwisata.
"Enggak ada gunanya dijor-jorin pariwisata, makanya konsep kita di musyawarah ini mendukung pariwisata, tapi fokus pada pembenahan restorasi lingkungan. Enggak ada yang peduli di situ, semua asyik bikin konsep. LSM bikin semua bagaimana Danau Toba mau dijual. Apanya yang mau dijual?" kata dia.
Effendi juga menyoroti soal masyarakat adat di Nusantara. Menurut Effendi, MMAB menjadi wadah untuk memenuhi keingintahuan masyarakat adat, khususnnya suku Batak, terhadap pandangan negara atau pemerintah atas kepemilikan tanah berdasarkan hak tradisional dan komunal.
Dia menilai bahwa banyak masalah hak-hak atas tanah berujung perdata dan pidana yang diselesaikan di Mahkamah Agung (MA). Padahal, MA bertanya kenapa tidak diselesaikan di tataran masyarakat adat saja.
"Kalau semua konflik adat dibawa ke MA, di mana keberadaan masyarakat adat itu? Padahal sebelum negara ini ada, itu (hukum adat) sudah menjadi hukum juga," kata Effendi yang mengetuai komunitas 3.000-an orang marga Simbolon.
Ia mengatakan, pertemuan yang baru pertama kali dilakukan itu dapat mencegah konflik yang muncul akibat hal-hal yang sangat prinsip dan menimbulkan ketidakpuasan warga. (sumber: kompas.com)
"Saya kurang sependapat dengan otorita, ngapain sih? Seperti tidak percaya dengan pemerintah kabupaten ini. Di mana daerah otorita yang berhasil?" kata Effendi di sela-sela acara Musyawarah Masyarakat Adat Batak (MMAB) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Punguan Simbolon Dohot Boruna Indonesia (PSBI) 2016 di Parapat, Sumatera Utara, 29-31 Juli 2016.
Ia mencontohkan Batam. Menurut Effendi, pembentukan otorita hanya bagi-bagi di bawah kertas dan selalu diberikan kepada daerah. Ia menganggap salah pemerintah jika hanya menyusun rencana di Jakarta, tetapi tidak memahami masalah yang terjadi di daerah.
Oleh sebab itu, Effendi meminta Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menginap di Danau Toba untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya.
Ia mendorong agar lingkungan sekitar Danau Toba dibenahi terlebih dulu lingkungan seiring dengan perbaikan infrastruktur. Setelah itu, barulah pemerintah memikirkan hal-hal yang menunjang program pariwisata.
"Enggak ada gunanya dijor-jorin pariwisata, makanya konsep kita di musyawarah ini mendukung pariwisata, tapi fokus pada pembenahan restorasi lingkungan. Enggak ada yang peduli di situ, semua asyik bikin konsep. LSM bikin semua bagaimana Danau Toba mau dijual. Apanya yang mau dijual?" kata dia.
Effendi juga menyoroti soal masyarakat adat di Nusantara. Menurut Effendi, MMAB menjadi wadah untuk memenuhi keingintahuan masyarakat adat, khususnnya suku Batak, terhadap pandangan negara atau pemerintah atas kepemilikan tanah berdasarkan hak tradisional dan komunal.
Dia menilai bahwa banyak masalah hak-hak atas tanah berujung perdata dan pidana yang diselesaikan di Mahkamah Agung (MA). Padahal, MA bertanya kenapa tidak diselesaikan di tataran masyarakat adat saja.
"Kalau semua konflik adat dibawa ke MA, di mana keberadaan masyarakat adat itu? Padahal sebelum negara ini ada, itu (hukum adat) sudah menjadi hukum juga," kata Effendi yang mengetuai komunitas 3.000-an orang marga Simbolon.
Ia mengatakan, pertemuan yang baru pertama kali dilakukan itu dapat mencegah konflik yang muncul akibat hal-hal yang sangat prinsip dan menimbulkan ketidakpuasan warga. (sumber: kompas.com)
0 comments:
Post a Comment