Ketika para geolog dunia menemukan bukti bahwa Danau Toba terjadi dari empat kali letusan gunung dan letusannya mampu mengubah dunia, kekaguman orang akan keindahan Toba semakin menjadi.
Setiap kali datang ke Toba, sarjana geografi itu selalu kagum karena keindahan yang didapatkannya di Toba selalu berbeda.
Perbukitan hasil aktivitas vulkanik dan tektonik ribuan tahun berdiri indah mengelilingi air biru kehijauan seluas 1.100 kilometer persegi. Dengan kondisi bentang alam yang didukung kuatnya budaya warga di sekelilingnya, mengunjungi Danau Toba bak melakukan penziarahan.
Empat letusan Toba terjadi pada 1,2 juta tahun lalu hingga 74.000 tahun lalu. Letusan-letusan dahsyat itu menghasilkan kaldera Haranggaol, Parapat, Porsea, Silalahi, dan Sibandang.
Letusan terakhir yang terdahsyat. Sebanyak 2.800 kilometer kubik piroklastik silika terlontar dari perut bumi, terbang hingga menutupi Asia Selatan, Arab, India, dan Laut Tiongkok Selatan. Letusan itu tercatat 35 kali lebih dahsyat dibandingkan Tambora, 150 kali lebih hebat daripada Krakatau, dan 50.000 kali kekuatan bom Hiroshima hingga menabalkan nama Super Volcano Toba.
Akibat letusan itu, bumi gelap selama enam tahun, suhu udara turun hingga 5 derajat celsius. Migrasi manusia terhenti dan nyaris melenyapkan peradaban manusia seperti diceritakan Ahmad Arif, dkk dalam Ekspedisi Cincin Api Kompas, Toba Mengubah Dunia.
Daratan Sumatera juga tidak diam membentuk danau. Aktivitas tektonik Sumatera membuat danau berbentuk tak beraturan. Gerakan magma dari sisa letusan terakhir dan gerakan lempeng Indo Australia yang memengaruhi sesar Sumatera mendorong naiknya perut bumi dari dalam danau 33.000 tahun lalu. Daratan baru terbentuk seluas 1.481 kilometer persegi yang kemudian disebut Pulau Samosir.
Proses alam itu menciptakan panorama luar biasa indah yang dikagumi Yustinus. Panorama danau di Parapat menyuguhkan danau yang luas. Di Desa Sigaol Simbolon, Samosir, Danau Toba lebih mirip sungai lebar karena jarak Pulau Samosir dan Sumatera yang pendek.
Jernihnya air terjun Sipiso-piso di Karo berbeda dengan air terjun di Desa Bonan Dolok, Pangururan, yang airnya mirip air teh. Pesona terasering dengan batu besar terserak di Desa Sabulan, Samosir, berbeda dengan hamparan padi di Balige, Toba Samosir.
Pemandangan menawan juga terhampar ketika menyusuri danau dengan kapal. Susunan bukit tufa (yang terbentuk akibat letusan gunung berapi) dari Balige hingga Pulau Sibandang di Tapanuli Utara atau dari Pangururan menuju Silalahi membuat pengunjung takjub.
Ungkapan rasa itu ditunjukkan Sebastian Hutabarat (45), warga Balige, dengan tak henti menyanyikan lagu ”O Tao Toba, Rajani Sudena Tao (Danau Toba, Raja Segala Danau)”, karya Nahum Situmorang, pencipta lagu legendaris dari Tapanuli, saat mengelilingi danau.
Budaya megalitik
Tahun 2014, arkeolog Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, melakukan penggalian di kampung Si Raja Batak di Sianjur Mula-Mula, Samosir, yang dipercaya sebagai asal-usul orang Batak. Penggalian itu menemukan bahwa kawasan itu baru didiami sekitar 1.000 tahun lalu.
Migrasi manusia ke Toba diduga melalui Barus di pantai barat Sumatera dan pantai timur menyusuri Sungai Asahan yang menghubungkan Danau Toba dengan Selat Malaka. Mereka membawa kebudayaan megalitik yang tinggi, mengenal pertanian, perahu, bahasa, huruf, dan tulisan.
Sisa budaya megalitik itu dapat disaksikan di kampung-kampung di Samosir. Di Kampung Simarmata di Sihotang, misalnya, benteng batu setinggi 2 meter mengelilingi. Sarkofagus (tempat penyimpan jenazah dari batu) besar yang terukir rapi berdiri di tengah kampung bersama lumpang batu besar untuk menumbuk padi.
Padi tumbuh subur di sawah bertingkat bersama batu-batu besar sisa letusan gunung yang berserakan. Air jernih muncul dari lereng pegunungan yang mengitari danau. Tak heran, Sihotang terkenal dengan beras yang enak, terutama beras merah.
Dalam tradisi megalitik, gunung atau tempat tinggi dipercaya sebagai jalan menuju ke dunia tempat asal-usul manusia. Demikian pula suku Batak yang mendiami sekeliling danau memercayai bahwa asal-usul mereka dari Gunung Pusuk Buhit, gunung api muda Toba. Padi dan ternak dari lembah-lembah danau pun dipersembahkan di Pusuk Buhit sebagai bagian dari adat.
Rumah-rumah panggung beratap melengkung mirip perahu— beberapa berukir warna merah-hitam indah dan berdiri gagah—masih banyak ditemukan di tepi danau. Penghuninya ramah penuh kehangatan.
Keluarga Tahiran br Purba (81) di Desa Sabulan, Samosir, misalnya, segera menanak nasi merah untuk menyuguhi tamunya. Arsik ikan mas berbumbu rempah ditambah petai hasil kebun dan air jahe hangat menemani.
Suhu udara di malam hari yang mencapai 10 derajat celsius kalah oleh hidangan sederhana-lezat dan kehangatan keluarga yang mengobrol ramah di samping perapian di ruang tengah.
Pariwisata Danau Toba mencapai puncaknya pada 1996 dengan jumlah kunjungan wisata 249.656 orang. Kejayaan itu meredup diterpa krisis global, alasan keamanan, hingga buruknya pengelolaan pariwisata. Kawasan Tuktuk, misalnya, pada 1995 hidup selama 24 jam dan dipenuhi wisatawan asing. Kini pukul 21.00 kawasan itu bak kota mati. Aliran listrik pun sering padam.
Rencana pemerintah membangun pariwisata Toba disambut gembira oleh warga, tetapi juga kekhawatiran. Hilangnya hak atas tanah adat, narkoba, prostitusi, perjudian, dan rusaknya lingkungan Toba menghantui. Mereka meminta Toba bukan untuk dieksploitasi, tetapi dijaga karena di sana mahakarya bumi berdiri. (Aufrida Wismi W/Nobertus Arya Dwiangga M/kompas.com)
Setiap kali datang ke Toba, sarjana geografi itu selalu kagum karena keindahan yang didapatkannya di Toba selalu berbeda.
Perbukitan hasil aktivitas vulkanik dan tektonik ribuan tahun berdiri indah mengelilingi air biru kehijauan seluas 1.100 kilometer persegi. Dengan kondisi bentang alam yang didukung kuatnya budaya warga di sekelilingnya, mengunjungi Danau Toba bak melakukan penziarahan.
Empat letusan Toba terjadi pada 1,2 juta tahun lalu hingga 74.000 tahun lalu. Letusan-letusan dahsyat itu menghasilkan kaldera Haranggaol, Parapat, Porsea, Silalahi, dan Sibandang.
Letusan terakhir yang terdahsyat. Sebanyak 2.800 kilometer kubik piroklastik silika terlontar dari perut bumi, terbang hingga menutupi Asia Selatan, Arab, India, dan Laut Tiongkok Selatan. Letusan itu tercatat 35 kali lebih dahsyat dibandingkan Tambora, 150 kali lebih hebat daripada Krakatau, dan 50.000 kali kekuatan bom Hiroshima hingga menabalkan nama Super Volcano Toba.
Akibat letusan itu, bumi gelap selama enam tahun, suhu udara turun hingga 5 derajat celsius. Migrasi manusia terhenti dan nyaris melenyapkan peradaban manusia seperti diceritakan Ahmad Arif, dkk dalam Ekspedisi Cincin Api Kompas, Toba Mengubah Dunia.
Daratan Sumatera juga tidak diam membentuk danau. Aktivitas tektonik Sumatera membuat danau berbentuk tak beraturan. Gerakan magma dari sisa letusan terakhir dan gerakan lempeng Indo Australia yang memengaruhi sesar Sumatera mendorong naiknya perut bumi dari dalam danau 33.000 tahun lalu. Daratan baru terbentuk seluas 1.481 kilometer persegi yang kemudian disebut Pulau Samosir.
Proses alam itu menciptakan panorama luar biasa indah yang dikagumi Yustinus. Panorama danau di Parapat menyuguhkan danau yang luas. Di Desa Sigaol Simbolon, Samosir, Danau Toba lebih mirip sungai lebar karena jarak Pulau Samosir dan Sumatera yang pendek.
Jernihnya air terjun Sipiso-piso di Karo berbeda dengan air terjun di Desa Bonan Dolok, Pangururan, yang airnya mirip air teh. Pesona terasering dengan batu besar terserak di Desa Sabulan, Samosir, berbeda dengan hamparan padi di Balige, Toba Samosir.
Pemandangan menawan juga terhampar ketika menyusuri danau dengan kapal. Susunan bukit tufa (yang terbentuk akibat letusan gunung berapi) dari Balige hingga Pulau Sibandang di Tapanuli Utara atau dari Pangururan menuju Silalahi membuat pengunjung takjub.
Ungkapan rasa itu ditunjukkan Sebastian Hutabarat (45), warga Balige, dengan tak henti menyanyikan lagu ”O Tao Toba, Rajani Sudena Tao (Danau Toba, Raja Segala Danau)”, karya Nahum Situmorang, pencipta lagu legendaris dari Tapanuli, saat mengelilingi danau.
Budaya megalitik
Tahun 2014, arkeolog Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, melakukan penggalian di kampung Si Raja Batak di Sianjur Mula-Mula, Samosir, yang dipercaya sebagai asal-usul orang Batak. Penggalian itu menemukan bahwa kawasan itu baru didiami sekitar 1.000 tahun lalu.
Migrasi manusia ke Toba diduga melalui Barus di pantai barat Sumatera dan pantai timur menyusuri Sungai Asahan yang menghubungkan Danau Toba dengan Selat Malaka. Mereka membawa kebudayaan megalitik yang tinggi, mengenal pertanian, perahu, bahasa, huruf, dan tulisan.
Sisa budaya megalitik itu dapat disaksikan di kampung-kampung di Samosir. Di Kampung Simarmata di Sihotang, misalnya, benteng batu setinggi 2 meter mengelilingi. Sarkofagus (tempat penyimpan jenazah dari batu) besar yang terukir rapi berdiri di tengah kampung bersama lumpang batu besar untuk menumbuk padi.
Padi tumbuh subur di sawah bertingkat bersama batu-batu besar sisa letusan gunung yang berserakan. Air jernih muncul dari lereng pegunungan yang mengitari danau. Tak heran, Sihotang terkenal dengan beras yang enak, terutama beras merah.
Dalam tradisi megalitik, gunung atau tempat tinggi dipercaya sebagai jalan menuju ke dunia tempat asal-usul manusia. Demikian pula suku Batak yang mendiami sekeliling danau memercayai bahwa asal-usul mereka dari Gunung Pusuk Buhit, gunung api muda Toba. Padi dan ternak dari lembah-lembah danau pun dipersembahkan di Pusuk Buhit sebagai bagian dari adat.
Rumah-rumah panggung beratap melengkung mirip perahu— beberapa berukir warna merah-hitam indah dan berdiri gagah—masih banyak ditemukan di tepi danau. Penghuninya ramah penuh kehangatan.
Keluarga Tahiran br Purba (81) di Desa Sabulan, Samosir, misalnya, segera menanak nasi merah untuk menyuguhi tamunya. Arsik ikan mas berbumbu rempah ditambah petai hasil kebun dan air jahe hangat menemani.
Suhu udara di malam hari yang mencapai 10 derajat celsius kalah oleh hidangan sederhana-lezat dan kehangatan keluarga yang mengobrol ramah di samping perapian di ruang tengah.
Pariwisata Danau Toba mencapai puncaknya pada 1996 dengan jumlah kunjungan wisata 249.656 orang. Kejayaan itu meredup diterpa krisis global, alasan keamanan, hingga buruknya pengelolaan pariwisata. Kawasan Tuktuk, misalnya, pada 1995 hidup selama 24 jam dan dipenuhi wisatawan asing. Kini pukul 21.00 kawasan itu bak kota mati. Aliran listrik pun sering padam.
Rencana pemerintah membangun pariwisata Toba disambut gembira oleh warga, tetapi juga kekhawatiran. Hilangnya hak atas tanah adat, narkoba, prostitusi, perjudian, dan rusaknya lingkungan Toba menghantui. Mereka meminta Toba bukan untuk dieksploitasi, tetapi dijaga karena di sana mahakarya bumi berdiri. (Aufrida Wismi W/Nobertus Arya Dwiangga M/kompas.com)
0 comments:
Post a Comment